Senin, 25 November 2013

WALI SONGO BERSERERTA GAMBAR (LENGKAP)

Peranan Wali Songo dalam Peradaban Islam di Indonesia.
Ada sembilan ulama yang sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Mereka dikenal dengan sebutan “Wali Songo”
Wali Songo mengambangkan agama Islam menjelang dan setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, atau sekitar abad ke-14 sampai abad ke-16. Dalam Babad Tanah Jawi dikatakan bahwa dalam berdakwah, para Wali ini dianggap sebagai kepala kelompok mubaligh untuk daerah penyiaran tertentu.
Selain dikenal sebagai ulama, mereka juga berpengaruh besar dalam kehidupan politik pemerintahan. Karena itu, mereka diberi gelar “Sunan” (Susuhunan; junjungan) gelar yang biasa digunakan untuk para raja di Jawa.
1. Wali Songo dan Dakwah Islam
Dalam menyiarkan Islam, Wali Songo tidak hanya akrab dengan masyarakat umum, tetapi juga dengan penguasa kerajaan. Ketika menyiarkan Islam, mereka menggunakan berbagai bentuk kesenian tradisional masyarakat setempat. Mereka menyisipkan nilai-nilai Islam ke dalam kesenian tersebut. Karena itu, upaya mereka terasa tidak asing dan sangat komunikatif bagi masyarakat setempat. Usaha ini membuahkan hasil, tidak hanya mengembangkan agama Islam, tetapi juga memperkaya kandungan budaya Islam.
Syiekh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Beliau juga dikenal dengan sebutan syiekh Magribi, karena ia diduga berasal dari wilayah Magribi (afrika Utara). Namun, hingga saat ini tidak diketahui secara pasti sejarah tentang tempat dan tahun kelahirannya. Ia diperkirakan lahir sekitar pertengahan abad ke-14. Ia berasal dari keluarga muslim yang taat, dan belajar agama sejak kecil. Meskipun demikian, tidak diketahui siapa gurunya hingga ia kemudian mejadi seorang ulama.
Sunan Gresik merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia berdakwah secara intensif dan bijaksana. Sunan Gresik bukanlah orang Jawa, tetapi ia mampu beradaftasi dengan masyarakat setempat. Upayanya untuk menghilangkan sisitem kasta pada masyarakat pada masa itu merupakan dakwahnya. Namun sumber lain mengatakan bahwa jauh sebelum Sunan Gresik datang ke Pulau Jawa, sudah ada masyarakat Islam di daerah Jepara dan Leran.
Cita-cita dan perjuangannya menyebarkan Islam di Jawa dilanjutkan oleh anaknya, Sunan Ampel.

Sunan Ampel



Ia memulai dakwahnya dari sebuah pesantren yang didirikan di Ampal Denta (dekat Surabaya). Oleh karena itu, ia dikenal sebagai pemimbina pondok pesantren pertama di jawa Timur.
Suna Ampel merupakan putera dari Sunan Gresik yang meneruskan perjuangan Sunan Gresik menyiarkan Islam di tanah Jawa. Ia dikenal dengan Wali yang tidak setuju terhadap adat-istiadat masyarakat Jawa pada masa itu. Misalnya, kebiasaan mengadakan sesaji dan selamatan. Namun para wali lain berpendapat bahwa hal itu tidak dapat dihilangkan dengan segera. Mereka mengusulkan agar adat-istiadat semacam itu lebih baik diberi warna islami. Akhirnya, Sunan Ampel setuju walaupun ia tetap khawatir kalau hal itu akan berkembang menjadi Bid’ah.
Ajaran Sunan Ampel yang terkenal adalah “Falsafah Moh Limo” atau “tidak Mau Melakukan Lima Hal”.
1. Moh Main atau Tidak mau berjudi.
2. Moh Ngombe atau Tidak minum-minuman keras (mabuk-mabukan)
3. Moh Maling atau Tidak mencuri.
4. Moh Madat atau tidak mau menghisap candu, ganja, dan lain-lain.
5. Moh Madon atau Tidak berzina.

Sunan Giri

 
Nama aslinya adalah Raden Paku. Ia merupakan putra dari Maulan Ishak. Ia sempat diadopsi oleh Nyai Ageng Pinatih ketika masih bayi dan sempat diberi nama joko Samudro; karena Raden Paku ditemukan di tengah Selat Bali.
Sunan Giri sempat mondok di Pesantren Ampel Denta milik Sunan Ampel sebelum memperdalam ilmu di Pasai, tempat Maulana Ishak menyiarkan Islam.
Sekembalinya ke tanah Jawa, Sunan Giri mendirikan pesantren di daerah Giri. Ia juga banyak mengirim juru dakwah ke Bawean, bahkan juga ke Lombok, Ternate dan Tidore di Maluku.

Sunan Bonang

Cara penyebarannya ialah menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang menggemari Wayang dan Musik Gamelan. Untuk itu, menciptakan gendang-gending yang memiliki corak keislaman.
Sunan Bonang yang bernama asli Syiekh Maulana Makdum Ibrahim ini pernah belajar agama di Pesantren Ampel Denta dan di Pasai bersam Sunan Giri. Sekembalinya dari Pasai, ia memutuskan untuk memusatkan kegiatan dakwahnya di Tuban dengan mendirikan Pesantren. Ia wafat di Tuban pada tahun 1525.

Sunan Kalijaga


Ia dikenal sebagai budayawan dan seniman. Nama aslinya adalah Raden Said putra Adipati Tuban yaitu Temenggung Wilatikto. Ia menciptakan anaka cerita wayang yang bernafaskan islami. Ia juga menciptakan wayang kulit dan wayang beber. Dan ia juga pencipta dari lagu daerah Jawa yang berjudul Lir-Ilir.
Sebelum mempelajari agama islam lebih dalam, ia adalah seorang perampok. Namun yang ia rampok bukanlah rakyat jelata, melainkan para penarik pajak yang meminta pajak dengan kekerasan dan sangat mencekik kehidupan masyarakat setempat. Ia pun sempat diusir dari Tuban, dan pergi ke hutan Jatiwangi. Di sana ia dikenal dengan sebutan Brandal Lokajaya.
Ia mendapat gelar sunan Kalijaga karena ia sempat disuruh menjaga sungai (bertapa) selama tiga tahun. Ia adalah murid dari Sunan Bonang. Ia juga menciptakan berbagai macam alat musik seperti Gamelan dan Bedug untuk media dakwahnya.

Sunan Kudus


Ia adalah putra dari Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Untuk melancarkan penyebaran islam, Sunan Kudus membangun sebuah masjid di daerah Loran pada tahun 1549 M. Masjid itu diberi nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar. Wilayah di sekitarnya disebut Kudus, merupakan nama yang diambil dari dari nama Kota al-Quds (Yarusalem) di Palestina, yang pernah ia kunjungi. Masjid itu kemudian dikenal dengan nama Masjid Menara Kudus karena di sampingnya terdapat menara tempat duduk masjid.
Sunan Kudus atau Ja’far sadiq digelari wali al-‘ilmi (orang berilmu luas) oleh para wali songo karena memiliki keahlian khusus dalam bidang agama. Karena keahlian nya itu, ia banyak didatangi para penuntut ilmu dari berbagai wilayah. Ia juga dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus. Karenanya, ia menjadi pemimpin agama sekaligus menjadi pemimpin daerah.
Ia berdakwah menggunakan strategi pendekatan pada masyarakat setempat. Ia membiarkan duklu adat-istiadat dan kepercayaan masyarakat setempat yang sulit dirubah, namun bagian adat yang tidak sesuai islam tetapi mudah dirubah maka segea dihilangkan. Ia menghindari konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan islam. Strategi dakwah ini juga diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.

Sunan Drajad



Nama aslinya adalah Raden Qosim. Ia merupakan putra dari Sunan Ampel dan Dewi Condrowati. Dalam catatan sejarah Wali Songo, Raden Qosim disebut dengan seorang wali yang hidupnya paling bersahaja, walaupun dalam urusan dunia ia juga sangat rajin mencari rezki.
Adapun ajaran Sunan Drajad yang terkenal adalah
Menehono teken marang wong kang wuto.
Menehono mangan marang wong kang luwe.
Menehono busono marang kang mudo.
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan.
Terjemahannya sebagai berikut:
Berikanlah tongkat pada orang buta.
Berikanlah makanan pada orang yang lapar.
Berikanlah pakaian pada orang yang telanjang.
Berikanlah tempat berteduh pada orang yang kehujanan.
Ia berdakwah di daerah Drajad dan meninggal di daerah itu juga. Makamnya berada di desa Drajad, kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan.

Sunan Muria


Nama aslinya adalah Raden Umar Syaid. Ia adalah putera sunan Kalijaga dan Dewi Saroh. Ia dikenal sebagai seorang anggota Wali Songo yang mempertahankan kesenian Gamelan sebagai media dakwah yang ampuh untuk merangkul masyarakat Jawa.
Selain dengan kesenian, ia juga berdakwah dengan cara memadukan adat setempat dengan warna islami. Adapun adat setempat yang dipadukan dengan warna islami adalah sebagai berikut:
Selamatan ngesur tanah (kenduren setelah ngubur nayat)
Nelung dinani (kenduren setelah 3 hari mengubur mayat)
Mitung dinani (kenduren setelah 7 hari ngubur mayat)
Matang puluh, nyatus dino, Mendhak pisan, mendhak pindo, dan nyewu.


 Sunan Gunung Jati


Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah. Pada usia 20 tahun dia berguru pada Syiekh di daratan Timur Tengah. Aetelah selesai menuntut ilmu, pada tahun 1470 dia berangkat ke tanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya. Istrinya yang pertama adalah Nyai Babadan, wanita itu dinikahi pada tahun 1471. Dia adalah putri dari Ki Gedeng Babadan.
Perkawinannya dengan Nyai Babadan ini tidak dikaruniai seorang anak pun, lalu pada tahun 1475, ia kawin lagi dengan Nyai Kawungten, adik dari Bupati Banten.
Ia sempat menikah dengan Syarifah Baghdad, yang merupakan adik dari Syiekh Abdurrahman. Namun dari sekian banyak istrinya, Sunan Gunung Jati pernah menikah dengan putri cantik dari daratan Cina, Ong Tien.
Sekitar tahun 1479, ia pergi ke Cina. Di sana ia membuka pengobatan sambil berdakwah. Ia mendapat gelar Maulana Insanul Kamil.
2. Model Penyebaran Islam Wali Songo
Secara umum Wali Songo menyiarkan Islam dengan memadukan budaya setempat sebagai media dakwah. Mereka membiarkan budaya dan kepercayaan masyarakat setempat yang sulit dirubah. Namun bagian adat yang mudah dirubah, maka dengan segera mereka menghilangkannya. Mereka melakukannya karena menghindari konfrontasi dengan masyarakat secara langsung. Dan tentunya mereka melakukan hal itu agar mudah berkomunikasi dengan masyarakat, dengan cara itu masyarakat bisa dengan mudah menerima mereka dan mengamalkan apa yang diajarkan.
Anggota Wali Songo yang memakai cara  pendekatan itu adalah Sunan Kali Jaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Sunan Kali Jaga malah membiarkan masyarakat membakar kemenyan, dan ia juga sempat menciptakan alat musik berupa Gamelan.
Memang pada dasarnya hal ini termasuk Bid’ah, namun jika tidak dengan cara ini masyarakat sangat sulit untuk didekati.

3. Kemjuan Islam Periode wali Songo
Selama menyiarkan agama Islam, Wali Songo banyak mengalami hambatan. Ada fitnah, dan budaya setempat yang sulit dirubah. Namun dengan kesabaran dan tekat yang kuat, akhirnya sebagian masyarakat Jawa masuk Islam meskipun tidak sedikit yang melakukan bid’ah. Hal itu bagi Wali Songo bukanlah masalah besar. Dan mereka meyakini suatu saat nanti akan ada orang yang dapat menghilangkan budaya masyarakat setempat yang tertmasuk bid’ah.
Permasalahan yang cukup terkenal sampai saat ini mengenai wali Songo adalah perkara Syiekh siti Jenar. Ia adalah seorang ahli agama dari Persia. Ia mengaku dirinya adalah Allah. Para wali sangat menentangnya, dan memutuskan hukuman mati bagi syiekh siti Jenar. Meskipun Syiekh Siti Jenar mati, namun ajarannya tetap menyebar. Bahkan ia sempat mempunyai banyak murid. Sebelum Syiekh Siti Jenar dihukum mati, ia sempat mengeluarkan ancaman kepada para Wali. Dan ancaman itu pun benar terjadi, di Mataram 6000 ulama Sunni dibantai oleh Sunan Amangkurat I.
Pertentangan antara faham Manunggaling Kawula Gusti memang terus berlangsung. Para pendukung siti Jenar tetap berusaha mendiskreditkan para Wali, bahkan hingga zaman modern ini.Namun di balik itu semua, usaha Wali Songo dalam menyiarkan agama Islam membuahkan hasil yang luar biasa, hingga dapat kita rasakan sampai saat ini.
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia memengaruhi kebudayaan Islam bangsa Indonesia. Akulturasi dengan budaya sebelumnya membuat budaya islam makin diminati masyarakat. Dan salah satu dampak yang muncul adalah berdirinya kerajaan-kerajaan yang bercorak islam, antara lain Kerajaan Samudera Pasai, Aceh, Demak, Pajang, Mataram Islam, Cirebon, Banten, Makasar, Ternate, dan Tidore.


2 komentar:

M.Art.X|Design. Diberdayakan oleh Blogger.